LEGENDA
SITU BAGENDIT
Tokoh – Tokoh :
1.
Narator
2.
Petani 1
3.
Petani 2
4.
Nyai Endit
5.
Barja
6.
Penduduk Desa
7.
Nenek
8.
Nyai Asih
9.
Centeng
Garut adalah salah satu daerah di jawa Barat. Merupakan
daerah yang subur dan memiliki banyak tempat wisata. Salah satunya adalah Situ bagendit. Dan cerita ini adalah mengenai asal-usul terbentuknya
situ Bagendit.
Pada jaman dahulu kala disebelah utara kota garut ada
sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena tanah di desa itu
sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka selalu
menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk di
desa itu tetap miskin kekurangan.
Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di
dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah mereka. Hari ini
adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya
kepada seorang tengkulak bernama Nyai Endit.
Nyai Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya
mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang
dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan
sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka
terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari
perkara dengan centeng-centeng suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi
mereka habis, mereka harus membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung
tinggi.
Petani 1 : “Wah kapan
ya nasib kita berubah?.Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa
yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”
Petani 2 : “Sssst,
jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!. Kita mah harus sabar!
Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat
aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung
padinya.
Nyai Endit : “Barja!!!! Bagaimana?
Apakah semua padi sudah dibeli?”.
Barja
: “Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi!
Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di
luar karena sudah tak muat lagi.”
Nyai Endit : “Ha ha ha ha…! Sebentar
lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin
kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil
panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!”.
Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa
mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita
kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan
mewah di rumahnya.
Penduduk desa : “Aduh pak, persediaan
beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke
Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding
saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli
keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami
pikul.”
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas
kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang
nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan
tatapan penuh iba.
Nenek
: “Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan
seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang
menumbuk padi.
Nenek
:“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
Penduduk desa : “Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih
yang sedang menumbuk padi tersebut
Nenek
: “Dimanakah saya bisa menemukan orang yang
paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
Nyi Asih
: “Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek
tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek
akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa
sama Nyi Endit?”
Nenek
: “Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
Nyi Asih : “Ah
percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek
bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
Nenek
: “Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada
pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain
untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
Nyi Asih
: “Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim
kemarau.”
Nenek
: “Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi
pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang
berharga milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang
masih bengong.
Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang
berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai
Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.
Para Centeng : “Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini!
Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.
Nenek
: “Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah
tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
Para Centeng : “Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya
aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum
saya seret!”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya.
Nenek
: “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si
nenek.
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang
terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
Nyi Endit : “Siapa
sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang
makan saja!”
Nyai Endit :“Hei…! Siapa kamu
nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.
Nenek
: “Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak
makan,” kata nenek.
Nyi Endit : “Lah..ga
makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat
nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya
ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
Nenek
: “Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak
bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah
menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini
sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini
bersiaplah menerima hukumanmu.”
Nyi Endit : “Ha ha ha
… Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku
banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
Nenek
: “Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini
jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
Nyi Endit : “Dasar nenek
gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit
sombong.
Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan
satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan.
Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
Nyi Endit : “Sialan!”
kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut.
Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek,
namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
Nenek
: “Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian
tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat
dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek
menyembur air yang sangat deras.
Nenek
: “Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang
sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Setelah berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang
entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan
deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat
menenggelamkannya beserta hartanya.
Di desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah.
Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Bagendit berasal
dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat
lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit
yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
Komentar
Posting Komentar